Jakarta – Pengusaha Harvey Moeis menceritakan awal dirinya mewakili PT Refined Bangka Tin (PT RBT) dalam kerja sama dengan PT Timah. Harvey menyatakan bahwa dirinya hanya merupakan teman dari pemilik PT RBT. Pernyataan ini disampaikan Harvey saat memberi kesaksian untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/10/2024). Harvey, yang juga terdakwa dalam kasus ini, mengatakan bahwa ia tidak terlibat dalam pengurusan PT RBT.
Ketika jaksa bertanya apakah ia memiliki peran dalam perusahaan tersebut, Harvey menjawab, “Tidak terlibat sebagai pengurus.”
Saat ditanya mengenai hubungannya dengan PT RBT, ia menjawab, “Saya kawan dari pemilik (Suparta selaku Direktur Utama PT RBT).”
Harvey terlibat dalam kerja sama sewa peralatan pemrosesan timah antara PT Timah dan PT RBT. Ia menjelaskan bahwa dirinya hanya sebagai penyampai pesan hasil rapat kepada Suparta, yang juga terdakwa.
“Saya terlibat sebagai penyampai pesan,” ujarnya, menambahkan bahwa ia menyampaikan hasil rapat kepada Pak Suparta.
Harvey mengungkapkan bahwa ia sudah mengenal Suparta sejak 2012 dan berkecimpung dalam dunia batu bara. Tanpa waktu tambahan untuk terlibat lebih jauh, ia hanya belajar mengenai bisnis mereka.
Awalnya, peran Harvey adalah menyampaikan kebutuhan PT Timah kepada Suparta, yang kemudian mengambil keputusan kerja sama tersebut. Meskipun demikian, Harvey mengaku tidak mengetahui permasalahan detail terkait alasan PT Timah membutuhkan bantuan.
Harvey Moeis juga disebut sebagai inisiator kerja sama sewa peralatan processing timah, meminta smelter menyisihkan bagian keuntungan sebagai uang pengamanan. Uang ini oleh jaksa diibaratkan sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang disetor melalui PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE) milik Helena Lim.
Helena didakwa terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan timah yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Menurut jaksa, Helena menggunakan sarana money changer miliknya untuk menampung uang tersebut.
Dalam kesaksiannya, Harvey memaparkan bahwa uang pengamanan dicatat sebagai CSR dan disalurkan melalui PT QSE, yang tak tercatat sebagai bagian dari pendirian perusahaan money changer tersebut.